warnasumut.com - Besitang. Nasib puluhan nelayan tradisional di Dusun II Paluh Pasir, Desa Halaban dan Kelurahan Pekan Besitang, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat sangat memprihatikan. Pasalnya, sumber mata pencaharian mereka di Sei Sirah dan Sungai Sedapan diduga tercemar limbah pabrik karet PT Polykencana Raya dan perusahaan sawit yang dibuang ke areal hutan mangrove.
Tak tanggung-tanggung, sudah berjalan empat tahun belakangan ini hasil tangkap nelayan berupa udang dan kepiting menurun drastis. Tak banyak yang bisa diperbuat nelayan, mereka hanya bisa berharap agar pihak terkait segera menindaklanjuti keluhan mereka.
"Dulu hasil tangkapanku bisa mencapai 8kg per harinya. Sekarang, jangankan setengahnya, hasil tangkapan yang bisa dibawa pulang paling banter hanya 2kg, itupun dah sangat jarang. Bahkan, sering juga gak dapat hasil,' keluh Pariadi (38), nelayan pencari udang asal Dusun II Paluh Pasir, Senin (11/01/2021).
Nasib yang sama dialami Edi Kuswanto (39), nelayan tradisional pencari kepiting ini juga mengeluhkan hal yang sama. Pulang dengan tangan kosong tanpa hasil sama sekali, seperti sudah menjadi 'santapan' Edi sehari-hari.
"Jangankan kepiting, umpun-umpun yang menjadi umpan untuk menangkap kepiting pun langsung mati, begitu dimasukkan kedalam air paska tumpahnya limbah pabrik kelapa sawit PT MP ke areal tangkapan kami beberapa waktu lalu. Cukup parah lah dampak limbahnya," ungkap Edi.
Tak hanya itu, sungai Sei Sirah juga tercemar akibat limbah yang diduga dibuang pabrik getah PT Polykencana Raya. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan tradisional yang mencari nafkah disekitar sungai itupun mengalami penurunan drastis.
"Beberapa hari yang lalu, bersama nelayan, kami melakukan investigasi ke lokasi. Alhasil, kami menemukan limbah berwarna hitam dibuang PT Polykencana Raya ke aliran Sei Sirah. Ini kan dah jelas merusak ekosistem dan nelayan yang merasakan dampaknya," ketus tokoh pemuda Halaban Abdul Azis.
Sementara, Ari dan Adi nelayan asal Simpang Lima Besitang juga mengeluhkan hal yang sama. Menurut mereka, tak hanya PT Polykencana Raya, dampak dari hadirnya perkebunan sawit juga sangat berpengaruh dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
"Kalau dah hujan atau pasang besar, limbah pabrik getah meluap ke sungai, warna air pun berubah. Limbah dari kebun sawit lebih parah lagi, kalau dah meluap, hewan apapun yang ada di air pada mati. Akibatnya, hasil tangkapan kami menurun dan kami terpaksa menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencari nafkah," ungkap Ari.
Pantauan di lapangan, air di Sungai Sedapan terlihat perbandingan yang sangat kontras dengan air sungai yang berdampingan dengannya. Warna air Sungai Sedapan terlihat lebih kuning dan tak terlihat ada pergerakan hewan air disekitar sungai tersebut.
Para nelayan berharap, agar pihak-pihak terkait untuk menindaklanjuti keluhan mereka. "Kami tidak menghalangi pengusaha berkebun atau mendirikan pabrik disini. Kami hanya minta, jangan cemari lingkungan dan kembalikan kelestarian ekosistem seperti semula," harap nelayan kompak.
# Akan Surati Kementrian LHK
Ketua Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia (PNTI) Sumatera Utara Adhan Nur SE merasa sangat miris mendengar keluh kesah para tradisional yang berada dibawah naungan organisasi yang dipimpinnya. Dirinya pun terjun langsung melihat limbah yang disampaikan padanya.
"Hal ini gak boleh dibiarkan, fikirkan juga nasib nelayan. Saya akan segera menyurati dan mendesak Kementrian LHK agar maslahah ini bisa segera diatasi. Kita bukan menghalangi pengusaha berinvestasi, tapi jagalah merusak lingkungan. Fikirkan juga nasib masyarakat kecil," ketusnya geram.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Langkat Drs Iskandar Zulkarnain Tarigan MSi saat dimintai tanggapannya terkait masalah tersebut, hingga berita ini ditulis, yang bersangkutan belum membalas pesan WhatsApp yang dilayangkan padanya. (Tim)
Teks foto: Nelayan tradisional di Sei Sirah Kecamatan Besitang dan Ketua PNTI Sumut Adhan Nur SE melihat hasil tangkapan nelayan yang sangat minim.
Sumber : Avid Pewarta